A.
Awal terjadinya masalah teologi dalam Islam
1.
Awalnya karena persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan
takdir.
Ketika
Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki
sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri
atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam
masyarakat.
Tetapi,
pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari
kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga
kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa
meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah)
pada tahun 622 M.
Ketika
masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke
Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan. Disinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama,
yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika
Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu
saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu,
sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang
bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya
suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan
masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal
Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk
mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai
pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang
disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam
mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab.
Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
2.
Munculnya perselisihan
Awal
kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami
suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa
pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat
Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan
Usman.
Di
masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali
terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya.
Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan
umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang
Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin
Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara
pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor
penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh
Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan
diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan
dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu
Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi di masa pemerintahan
Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Perselisihan
yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran
keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah,
Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.
Aliran-aliran
ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu
mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek
sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang
muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan
keimanan.
''Kelompok
khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan
keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena
itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat
Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara
itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan
atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan
dalam bidang teologi.
Selain
persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda
mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.
B.
Sejarah latar belakang munculnya
pesoalan kalam atau teologi dalam Islam
Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang
mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan
Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan ini
mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim
(arbitrase).
Kemudian
hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi
menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah
sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan
Khawarij.
Harun
lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah
menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
a) Aliran
Khawarij, yang berpendapat orang yang berdosa besar adalh kafir artinya murtad,
maka wajib dibunuh.
b) Aliran
Murji’ah, yang berpendapat pelaku dosa besar tetap mukmin bukan kafir.
c) Aliran
Mu’tazilah, berpendapat pelaku dosa bukan kafir dan bukan mukmin, posisinya
adalah antara mukmin dengan kafir atau al manzialah bainal manzilatain.
C. Paham Qadariyah dan Jabariyah
Persoalan
kedua adalah perbuatan manusia. Apakah dilakukan atas kehendak dan perbuatan
manusia atau ditentukan Allah.
a) Qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya free will dan free act.
Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak
sendiri.
b) Jabariayah
berpendapat manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Perbuatan manusia adalah bertindak atas paksaan Allah. Segala gerak-gerik
manusia ditentukan Allah. Paham ini disebut Paham predestination atau
fatalisme.
D. Aliran Asy’ariyah, Al Maturidiyah, dan At
Tahawi
Perlawanan
tehadap Mu’tazilah datang dari pengikut aliran tradisional islam, terutama
golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mahzab ibnu hambali. Perlawanan ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang didirikan oleh Abu
Al-Hasan al asy’ari (935 M) yang dikenal dengan teologi asy’ariyah. Al-asy’ari
berpendapat bahwa terhadap pelaku dosa besar, tidak mengkafirkan orang-orang
yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa besar seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman
dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi,
jika dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun
balasan diakhirat kelak tergantung kehendak Allah. Dalam bidang fikih, Abu
Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar
pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Di
samarkan aliran yang menentang mu’tazilah didirikan oleh abu mansyur muhammad
almaturidi (w. 944 M) yang dikenal dengan aliran al Maturidiyah. Tentang
Perbuatan Manusia, menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata
diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat
dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan
manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Selain
dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, muncul pula penentang
mu’tazilah yaitu at tahawi (933 M) pengikut iman hanafi. Tetapi ajaran-ajaran
at Tahawi tidak menjadi aliran teologi dalam islam. Maka aliran aliran teologi
dalam islam adalah khawarij, syia’ah, Murji’ah, Mukthazilah, asy’ariyah dan
Mathuridiyyah. Aliran aliran yang masih ada sampai sekarang adalah Asy’ariyah
dan Mathuridiyyah yang keduanya disebut Ahlussunnah Waljama’ah atau Sunni dan
Syi’ah.
Mathuridiyyah
banyak dianut pengikut Madzhab Hanafi, sedangkan aliran asy’ariyah dianut
Sunni. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia islam, maka banyak
kalangan intlektual muslim yang menggunakan ajaran-ajaran mu’tazilah, sehingga
disebut neo mu’tazilah.