Rabu, 09 Oktober 2013

Persoalan Teologi Dalam Islam



A.  Awal terjadinya masalah teologi dalam Islam

1. Awalnya karena persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Disinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
2. Munculnya perselisihan
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi di masa pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.
Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.
''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi.
Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.

B.  Sejarah latar belakang  munculnya pesoalan kalam atau teologi dalam Islam

Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase).
Kemudian hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
a)      Aliran Khawarij, yang berpendapat orang yang berdosa besar adalh kafir artinya murtad, maka wajib dibunuh.
b)      Aliran Murji’ah, yang berpendapat pelaku dosa besar tetap mukmin bukan kafir.
c)      Aliran Mu’tazilah, berpendapat pelaku dosa bukan kafir dan bukan mukmin, posisinya adalah antara mukmin dengan kafir atau al manzialah bainal manzilatain.

C. Paham Qadariyah dan Jabariyah

Persoalan kedua adalah perbuatan manusia. Apakah dilakukan atas kehendak dan perbuatan manusia atau ditentukan Allah.
a)      Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya free will dan free act. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri.
b)      Jabariayah berpendapat manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Perbuatan manusia adalah bertindak atas paksaan Allah. Segala gerak-gerik manusia ditentukan Allah. Paham ini disebut Paham predestination atau fatalisme.

D.    Aliran Asy’ariyah, Al Maturidiyah, dan At Tahawi

Perlawanan tehadap Mu’tazilah datang dari pengikut aliran tradisional islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mahzab ibnu hambali. Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang didirikan oleh Abu Al-Hasan al asy’ari (935 M) yang dikenal dengan teologi asy’ariyah. Al-asy’ari berpendapat bahwa terhadap pelaku dosa besar, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan diakhirat kelak tergantung kehendak Allah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Di samarkan aliran yang menentang mu’tazilah didirikan oleh abu mansyur muhammad almaturidi (w. 944 M) yang dikenal dengan aliran al Maturidiyah. Tentang Perbuatan Manusia, menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, muncul pula penentang mu’tazilah yaitu at tahawi (933 M) pengikut iman hanafi. Tetapi ajaran-ajaran at Tahawi tidak menjadi aliran teologi dalam islam. Maka aliran aliran teologi dalam islam adalah khawarij, syia’ah, Murji’ah, Mukthazilah, asy’ariyah dan Mathuridiyyah. Aliran aliran yang masih ada sampai sekarang adalah Asy’ariyah dan Mathuridiyyah yang keduanya disebut Ahlussunnah Waljama’ah atau Sunni dan Syi’ah.
Mathuridiyyah banyak dianut pengikut Madzhab Hanafi, sedangkan aliran asy’ariyah dianut Sunni. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia islam, maka banyak kalangan intlektual muslim yang menggunakan ajaran-ajaran mu’tazilah, sehingga disebut neo mu’tazilah.

Sifat-sifat dan Perbuatan Tuhan

A. Sifat Tuhan
Apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak ?
1.    Mu’tazilah
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.  Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).  Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya.
2.    Asy’Ariyah
Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula Tuhan adalah pengetahuan.
Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya, sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.
Ada dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di satu pihak mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain dari Dia, akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan dua kesulitasn ini.
Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.  Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim.
3.    Maturidiyah Bukhara
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil. 
4.    Maturidiyah Samarkand
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.

B. Antropomorphisime
1.    Mu’tazilah
Dalam pandangan Mu'tazilah, Tuhan adalah zat yang tidak mungkin menempel pada-Nya apalagi ada di dalam zat (esensi)-Nya sesuatu yang lain, termasuk sifat-sifat. Dengan mengatakan bahwa ada sifat pada esensi dan eksistensi Tuhan, sama dengan menambahkan esensi lain pada esensi Tuhan dan itu berarti akan "menodai" keesaan-Nya. Bagi Mu'tazilah, sifat-sifat Tuhan bukanlah eksistensi hypostatik yang berdiri sendiri dan berbeda dengan esensi Tuhan, melainkan sifat-sifat itu adalah esensi Tuhan itu sendiri.  Sifat juga bukan aksiden (sesuatu)  yang terdapat di luar esensi Tuhan, sebab jika sifat adalah aksiden di luar esensi Tuhan akan bermuara pada pemahaman bahwa Tuhan adalah jauhar (substansi) yang di dalamnya terdapat aksiden-aksiden.  Dan jika begitu, Tuhan tidak lagi esa, dan itu adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip monoteisme dan ketauhidan dalam Islam. Karena itu, dalam pandangan Mu'tazilah, sifat-sifat itu adalah Tuhan itu sendiri. Sifat dan Tuhan tidak bisa dipahami sebagai dua substansi yang berbeda.
2.    Asy’Ariyah
Kaum Asy'ariyah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, dan hal tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Adanya sifat-sifat Tuhan itu ditunjukkan oleh perbuatan-perbuatan-Nya, seperti Tuhan Mengetahui menunjukkan bahwa Ia memiliki sifat Mengetahui (ilmu), Tuhan menciptakan menunjukkan bahwa Ia memiliki sifat qudrah (kemampuan), dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azaliyah (ada begitu saja) di dalam esensi Tuhan, tetapi sifat itu bukanlah esensi Tuhan. Dengan kata lain, sifat-sifat itu tidaklah sama dengan esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi Tuhan itu sendiri. Kaum Asy'ariyah ingin mengatakan bahwa sifat, meskipun ada dalam esensi Tuhan, tetapi tidak menyebabkan adanya "yang banyak" dalam esensi-Nya, sebab sifat adalah berbeda dengan esensi Tuhan itu. Dikatakan "banyak" jika sifat itu menjadi bagian dari esensi Tuhan. Bagi Asy'ariyah, sifat adalah sesuatu yang "dimiliki" oleh Tuhan, dan itu tidak memberikan pengaruh, baik menambah atau pun mengurangi, pada esensi-Nya.
3.    Maturidiyah Bukhara
Tangan Tuhan adalah sifat bukan anggota tubuh. Sama dengan sifat-sifat lain, sperti pengetahuan, daya , dan kemampuan.
4.    Maturidiyah Samarkand
Mata, tangan, muka tuhan adalah kekuasaan tuhan dan tuhan tidak memerlukan anggota tubuh.

C. Melihat Tuhan
1.    Mu’tazilah 
Karena Tuhan bersifat Imamateri , maka Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Karena Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat (QS. Al-An'am : 104)
2.    Asy’Ariyah
Menurut asyariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat. alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
3.    Maturidiyah
Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud, meskipun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas.

D. Sabda Tuhan
1.    Mu'tazilah
Sabda buikanlah sifat tapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian Al-Qur'an tidak bersifat kekal tapi bersifat baru dan diciptakan Tuhan yang tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat.
2.    Asy'ariyah
Sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Sabda juga bermakna abstrak dan tidak tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun dalam arti kiasan sedang sabda yang sebenarnya apa yang terletak dibalik yang tersusun (QS. An-Nahl : 40)
3.    Maturidiyah
Sependapat dengan Asy’Ariyah, sabda Tuhan atau Al qur’an adalah Kekal , satu, tidak terbagi , tidak bahasa arab, atau Syriak, tetapi di ucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.

Selasa, 08 Oktober 2013

Etika Penulisan Karya Ilmian



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Saat ini, sering kali kita jumpai banyak penulis suatu karya ilmiah yang dalam penulisannya tidak memperhatikan etika dalam karya ilmiah, yaitu meniru atau mengambil hasil karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Padahal kita tahu, bahwa seorang penulis selain harus dapat menyajikan karya ilmiahnya dengan metodologi yang baik dan benar, penulis juga dituntut supaya dapat mematuhi etika karya ilmiah tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya pencegahan seorang penulis dalam melakukan tindakan penjiplakan (plagiarism). Oleh karena itu, kelompok kami akan membahas materi mengenai etika karya ilmiah yang sejatinya harus dimiliki oleh setiap penulis.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
           1. Bagaimana etika dalam penulisan karya ilmiah?
     2. Apa itu penjiplakkan (plagiarism)?
     3. Apa saja contoh-contoh tindakan yang tergolong plagiarism?
     4. Apa saja contoh-contoh tindakan yang tidak tergolong sebagai plagiarism?
     5. Bagaimana cara menghindari palgiarism?

C.    Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
     1. Memahami bagaimana etika karya ilmiah.
     2. Memahami arti penting plagiarism.
     3. Mengetahui mana yang termasuk tindakan plagiat maupun bukan.
     4. Memahami bagaimana cara menghindari tindakan plagiat.


D.    Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penulisan ini yaitu:
      1. Menjelaskan bagaimana etika dalam karya ilmiah.
      2. Menjelaskan pengertian dari penjiplakan (plagiarism).
      3. Menjelaskan contoh-contoh tindakan yang termasuk golongan plagiarism atau bukan
          golongan plagiarism.
      4. Menjelaskan cara menghindari plagiarism.

E.     Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      BAB I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan secara umum latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah dan sistematika penulisan.
2.      BAB II : Pembahasan
Bab ini menjelaskan etika dalam karya ilmiah, pengertian penjiplakan (plagiarism), tindakan-tindakan yang termasuk golongan plagiarism atau bukan, serta cara  menghindari tindakan plagiat.
3.      BAB III : Penutup
Bab ini memaparkan kesimpulan, saran serta daftar pustaka.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etika Penulisan Karya Ilmiah
Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologis memiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Menurut pandangan Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas moralitas masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral. Etika membantu manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih kuat dan norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat. Sedangkan etika dalam ranah penulisan karya ilmiah lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam penulisan.
Etika dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah yaitu:
1. Kejujuran
 Kejujuran dalam penulisan laporan penelitian atau karya tulis ilmiah berkaitan dengan banyak hal. Dalam sebuah laporan penelitian, semua informasi atau data yang disajikan haruslah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sangat tidak etis dan berbahaya jika data dimanipulasi sehingga tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2.  Objektivitas
            Objektivitas sangat berkaitan dengan kejujuran. Jika bersikap objektif, maka dalam laporan penelitian atau karya tulis ilmiah yang di buat, penafsiran atau interpretasi data yang dilakukan disandarkan pada objektivitas. Bukan subjektivitas. Objektivitas yang tinggi akan mencerminkan hasil penelitian yang sesuai dengan keadaan sebenarnya.
3.  Pengutipan
       Bila mengutip pendapat orang lain, baik dalam mengambil kutipan langsung atau hanya mengambil intisari pendapat, maka sumber kutipan harus dicantumkan sebagai bentuk penghargaan kepada pemilik ide tersebut.



B.     Definisi Plagiat
            Penjiplakan (plagiarism) merupakan kegiatan mengambil atau menjadikan ide-ide atau kata-kata orang lain menjadi milik sendiri tanpa menyebutkan sumbernya. Menurut Webster’s World University Dictionary, kegiatan plagiarisme merupakan kegiatan pencurian literal. Sedangkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang mengambil, menyalin, menduplikasi, dan sebagainya, karya orang lain dan menjadikannya karya sendiri tanpa sepengatahuan atau izin sang pemilik.
Dalam buku pedoman penulisan skripsi UIN Jakarta kegiatan menjiplak (plagiat) setidaknya diartikan: pertama, mengambil langsung secara literal tulisan-tulisan,gambar, tabel dan pendapat orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Setiap frasa, klausa, maupun kalimat yang diambil dari satu atau beberapa sumber harus diikuti penyebutan sumber-sumber tersebut, baik dalam catatan kaki atau dalam teks itu sendiri ( body textatau in text citation). Kedua, tindakan plagiarisme juga termasuk meminjam idea tau logika pikiran orang lain dalam menerangkan sebuah gagasan atau pandangan tanpa menyebutkan sumber-sumbernya, menganggap bahwa idea tau logika sebagai ideatau jalan pikirannya sendiri. Ketiga, plagiarisme mengklaim pekerjaan yang dilakukan bersama yang kemudian diklaim sebagai penelitian pribadi.
Ide menulis karya ilmiah bisa lahir setelah membaca karya tulis atau penelitian yang telah ada sebelurmnya, baik yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan. Oleh karena itu, penulis harus memahami etika penulisan. Wibowo (2006) mengungkapkan bagi seorang penulis etika penulisan merupakan takdir yang tidak bisa ditolak, karena didalamnya terkandung nilai kemurnian dan nilai ketulusan. Nilai kemurnian memperlihatkan penulis menghormati pembaca dengan tidak membodohi, menggurui, membuat keruh atau membingungkan pembacanya. Sedangkan nilai ketulusan erat hubungannya dengan aspek originalitas sebuah gagasan, yakni pengungkapan secara jujur dan tulus jika kita mengutip atau memakai gagasan orang lain. Sikap tidak jujur melahirkan istilah plagiarismenya, yaitu kegiatan menyalin, menjiplak, atau mengambil pendapat orang lain sebagai miliknya.

C.    Yang Tergolong Plagiarisme
Dalam buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Felicia Utorodewo dkk. Menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme:
1.      Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri.
2.      Mengakui gagasan orang lain sebagai emikiran sendiri.
3.      Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri.
4.      Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri.
5.      Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya.
6.      Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya.
7.      Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
8.      Menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas (misalnya dengan menggunakan tanda kutip atau blok alinea yang berbeda) bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain dan.

D.    Yang Tidak Tergolong Plagiarisme
Adapun tindakan yang tidak tergolong plagiarism, yaitu:
1.      Menggunakan informasi yang berupa fakta umum.
2.      Menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau parafrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas.
3.      Mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya.

E.     Cara Efektif Menghindari Plagiarisme
     Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar terhindar dari plagiarisme, antara lain:
1.      Dalam menulis, sebaiknya menggunakan informasi yang berupa fakta umum.
2.      Menulis sumber referensi untuk pernyataan-pernyataan yang diacu penulis.
3.      Memberi batasan yang jelas bagian manasajakah dalam uraian yang merupakan kutipan dan bagian mana yang merupakan pernyataan penulis.
4.      Jika seorang penulis ingin memperkuat argumennya dengan mengacu pada penyataan seorang penulis yang telah di terbitkan, maka ia harus menyatakan dengan tegas dari sumber mana kutipan tersebut diambil (Winarno, 2007).
5.      Lebih baik menulis sendiri karya tulis ilmiah kita, walaupun mungkin sangat tidak bagus untuk dibaca apalagi di publikasikan dalam jurnal ilmiah. Sebagai seorang pembelajar, tentu kita akan berusaha keras agar karya tulis ilmiah yang dibuat mendapat tempat di mata orang-orang terhormat. Perlu kerja keras, belajar tiada henti dan jangan malu untuk bertanya kepada ahlinya.
6.      Agar kita tak terkena penyakit plagiarisme, sebaiknya biasakan menulis setiap hari. Menulis pemikiran sendiri agar suatu saat dapat kita rangkai menjadi kalimat yang efektif dalam karya tulis ilmiah kita.
7.      Tak perlu malu untuk belajar. Jadikan media blog di internet sebagai media belajar menulis ilmiah. Mungkin awalnya terkesan alamiah, tetapi akan berubah menjadi ilmiah bila kita focus dengan apa yang kita tuliskan. Banyak pembaca karya tulis orang lain dan berupaya keras mencari referensi, baik dari buku ataupun jurnal ilmiah terpercaya untuk mendukung teori.
8.      Bukankah buku merupakan salah satu produk dari sebuah karya tulis ilmiah yang ditulis dari proses yang alamiah?.
9.      Tak ada penulis yang langsung bisa menulis. Apalagi menulis sebuah karya tulis ilmiah yang merupakan hasil dari sebuah penelitian yang tentu membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Tidak bisa menggunakan cara-cara instan, sebab ada metodologi penelitian yang harus dilalui, dan.
10.  Tidak mudah membuat sebuah karya tulis ilmiah. Kita harus sering berlatih menulis dan berupaya keras untuk menulis seotentik mungkin bahwa ini adalah hasil dari originalitas pemikiran sendiri dan bukan pemikiran orang lain yang kita akui sebagai tulisan sendiri.




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Berdasarkan penyusunan makalah ini, maka dapat disimpulkan:
1.      Penjiplakan (plagiarism) merupakan kegiatan mengambil atau menjadikan ide-ide atau kata-kata  orang lain menjadi milik sendiri tanpa menyebutkan sumbernya. Sedangkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang mengambil, menyalin, menduplikasi, dan sebagainya, karya oran lain dan menjadikannya karya sendiri tanpa sepengatahuan atau izin sang pemiliknya.
2.      Banyak sekali contoh dari tindakan penjiplakan, salah satunya yaitu menggunakan atau mengambil teks, data atau gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan terhadap sumber secara benar dan lengkap.
3.      Banyak cara yang dapat kita lakukan dalam meghindari tindakan plagiarism, salah satunya yaitu dengan membiasakan diri untuk menulis setiap hari dengan mematuhi etika karya ilmiah.

B.     Saran
Berdasarkan simpulan di atas, pemakalah menyarankan:
1.      Janganlah melakukan tindakan penjiplakan (plagiarism), karena secara tidak sadar kita telah melanggar hukum dan merugikan orang yang karyanya telah kita jiplak.
2.      Sebaiknya dalam membuat suatu karya ilmiah yang menggunakan ide-ide atau kata kata orang lain, seorang penulis dapat meyebutkan sumber informasi tersebut dengan jelas.
3.      Agar kita tidak terkena penyakit plagiarisme, sebaiknya biasakan menulis setiap hari. Menulis pemikiran sendiri agar suatu saat dapat kita rangkai menjadi kalimat yang efektif dalam karya tulis ilmiah kita. Lebih baik menulis sendiri karya tulis ilmiah kita, walaupun mungkin sangat tidak bagus untuk dibaca apalagi dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Sebagai seorang pembelajar, tentu kita akan berusaha keras agar karya tulis ilmiah yang dibuat mendapat tempat di mata orang-orang terhormat. Perlu kerja keras, belajar tiada henti dan jangan malu untuk bertanya kepada ahlinya.



DAFTAR PUSTAKA

1)      Fitriyah, Mahmudah & Hindun. 2012. Bahasa Indonesia Budayaku. Depok: Nufa Citra
Mandiri.
2)      Utorodewo, Felicia, dkk. 2007. Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah.
Jakarta:Lembaga Penerbit FEUI.
3)      Wibowo, Wahyu. 2006. Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah. Jakarta: PT Kompas Media.